Mengetuk Pikiran yang Tertutup

Mengetuk Pikiran yang Tertutup
Oleh Arys Hilman
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi)
Selamat Hari Buku Nasional.
Dalam banyak benak penduduk negeri ini, buku sudah menjadi masa lalu dan penerbitan adalah industri di ujung senja; selanjutnya cita-cita literasi dapat disandarkan kepada aneka wahana cipta lain. Seolah-olah, bangsa ini bakal menemukan jalan kemajuan dengan bersandar pada wahana tontonan atau celetukan ringkas di media sosial belaka.
Literasi? Bahkan kita sulit bersepakat tentang kata ini. Betapa mudah orang memadankannya pada kemampuan membaca atau menjadikannya sinonim minat baca. Tidak. Literasi melampaui itu. Literasi adalah kemampuan kritis manusia dalam mencerna informasi sehingga dapat mengambil manfaat darinya sebagai akses terhadap pengetahuan. Literasi, dalam pengertian lebih jauh–sebagaimana tersurat dalam UU No. 3 Tahun 2017–bahkan mengandung pada dirinya akses untuk peningkatan kualitas hidup.
Pakar literasi dari Central Connecticut State University (CCSU), Jack W Miller, bersama koleganya Michael McKenna (2016), membatasi ranah riset literasi pada wahana tertulis alias teks dan memisahkannya dari sumber-sumber lain seperti wahana audio dan video. Landasan akademis ini tidak sendirian karena OECD pun, setiap kali melakukan asesmen terhadap anak-anak usia 15 tahun, memilah kapasitas literasi baca dari hal-hal yang kadang disebut literasi lain, misalnya numerikal atau sains.
Literasi baca [dan tulis], menurut Miller dan McKenna, jauh dari sekadar melek huruf. Literasi dalam pembahasannya bukanlah lawan kata dari buta huruf (illiteracy). Literasi yang mereka maksud adalah kondisi ketika seseorang biasa membaca. Orang yang tidak literat adalah orang yang aliterat (aliterate), bukan iliterat (illiterate). Kalau Anda melek huruf namun tidak suka membaca, maka Anda seorang aliterat.
Nah, ini persoalan bangsa kita. Dengan tingkat melek huruf nasional di atas 96 persen, bahkan 99 persen di Pulau Jawa, bangsa kita gagal menjadi bangsa literat karena tak pernah menjadikan kegiatan membaca sebagai kebiasaan. Masyarakat kita bukanlah pembaca yang baik dan reading society tak pernah terbentuk sejalan lompatan budayanya dari masa tontonan tradisional ke masa tontonan digital dan melalui begitu saja era pustaka.
Untuk melangkah ke kondisi literasi, melek huruf harus mendapatkan sokongan minat baca dan masyarakat kita tidak memiliki masalah tentang hal ini. Anak-anak selalu berebut saat ada pembagian buku, memilih buku yang mereka sukai. Namun, minat baca tidak cukup. Prasyarat literasi berikutnya adalah akses terhadap bahan bacaan dan pembudayaan kebiasaan membaca. Dalam kedua hal terakhir inilah kita menemui rintangan.

Partner of Republika Network. Official Media Yayasan Rumah Berkah Nusantara. email: infosajada.id, Silakan kirimkan info